Senin, 31 Mei 2010

PENGAJARAN BUKA HANYA "SEKEDAR TAHU"

Pendidikan bukanlah ibarat mengisi sebuah ember atau mengisi botol yang kosong. Pendidikan adalah menyalakan sekelebat api” (Hernowo)

 

Ketika para ahli terus berusaha mengotak-atik wujud konkret dari kurikulum berbasis emosi, akhirnya  menemukan formulasi baru tentang pentingnya mengubah paradigma pembelajaran selama ini. Gagasan memunculkan paradigma-baru dalam pembelajaran ini sebenarnya sudah cukup lama, beberapa kalangan ahli juga sudah berupaya memunculkan ide perlunya merekonsturuksi dan men-design pembelajaran yang lebih efektif salah satu contoh adalah pentingnya seorang pembaca buku memiliki paradigma-baru membaca pada zaman yang serbacepat berubah ini.

Paradigma-baru membaca telah digagas oleh Hernowo yang ia peroleh dari pemikiran Sindhunata--yang dipijakkan pada gagasan Bloom dan Conrard--yang tertuang dalam sebuah pengantar yang ditulisnya untuk bukunya “Main-Main dengan Teks Sembari Mengasah Kecerdasan Emosi”. Sindhunata menunjukkan bahwa saat ini tak cukup jika seorang pembaca buku memiliki paradigma, "Apa yang dapat diberikan oleh teks?" Paradigma-lama membaca itu harus diganti dengan paradigma-baru yang berbunyi, "Teks yang mana yang dapat mengubah diriku?

Untuk sampai ke paradigma-baru belajar, seorang pembelajar perlu menggunakan kecerdasan emosinya. Menggunakan kecerdasan emosi berarti mencoba melibatkan atau mengaitkan dirinya dengan mata pelajaran yang sedang dipelajarinya. Sekali lagi, menurut para pakar otak, emosi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk memberi arti. Lewat emosilah seseorang kemudian mencoba mengaitkan apa yang ada di dalam dirinya dengan apa yang sedang terjadi di luar dirinya. Emosi dapat membawa masuk pengalaman eksternal (atau hal-hal yang sedang terjadi di luar diri) untuk digabungkan dengan pengalaman internal (atau hal-hal yang sudah dimiliki seseorang).

Apabila sebuah mata pelajaran yang sudah dikuasai oleh seseorang ternyata tidak nyantol  atau terkait dengan pengalaman internal yang telah terbangun di kedalaman dirinya, ada kemungkinan mata pelajaran itu tidak memberikannya makna. Artinya, proses belajar dengan berpijak pada paradigma-baru yang berbunyi, "Apakah mata pelajaran yang sedang kupelajari ini dapat mengubah diriku?", ada kemungkinan tidak terbangun di dalam dirinya. Hal itu dikarenakan mata pelajaran tersebut tidak bisa dikaitkan, lewat emosinya, dengan pengalaman yang sudah tertanam di dalam dirinya.

Mengapa ketidakterkaitan itu bisa terjadi? Ada banyak penyebab. Hernowo menyebutkan ada beberapa hal yang menjadi penyebabnya. Pertama, proses pembelajaran tersebut tidak dalam kondisi yang menyenangkan. Artinya, ketika si pembelajar mendapatkan mata pelajaran tersebut, dia berada dalam keadaan yang diliputi oleh emosi negatif (risau, tertekan, bingung, kekalutan, ancaman, dan semacamnya). Emosi negatif kadang bersifat menolak atau membawa seseorang untuk tidak dapat berkonsentrasi atau fokus. Kedua, lingkungan eksternal yang melingkupinya, termasuk di dalamnya jika ada guru yang membantu siswa memahami materi pelajaran yang dipelajarinya benar-benar tidak menyamankan. (dengan kondisi udara panas, perut lapar, presentasi hanya satu arah, monoton, kering, kelelahan fisik dan psikis melanda, dan semacamnya). Maka mustahil pelajaran tersebut akan di terima dengan baik oleh siswa. Ketiga, di dalam diri si pengajar (guru) memang tidak ada pengalaman yang memadai terkait dengan mata pelajaran yang sedang dipelajarinya. Yang mungkin perlu diperhatikan di hal ketiga ini adalah ada kemungkinan dia punya pengalaman tentang mata pelajaran yang sedang dipelajarinya, namun pengalaman itu membuatnya mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan. Hal ketiga ini jelas perlu dievaluasi secara cermat oleh semua pihak yang terlibat dalam proses pembelajaran. Yang lebih parah jika para pengajarnya pun tidak berusaha mengaitkan lebih dahulu kehidupan yang dijalani sehari-hari dengan mata pelajaran yang ingin diajarkannya. Atau dalam bahasa lain, sang pengajar tanpa sengaja memisahkan mata pelajaran yang ingin diajarkan itu terpisah dengan dunia-nyata dirinya.

Paradigma belajar ini memberikan penegasan kepada siapa saja untuk tidak lagi menganggap bahwa memahami hal-hal baru itu atau ilmu sudah cukup. Belajar pada zaman sekarang sudah tidak lagi bermanfaat apabila hanya "sekadar tahu". Tingkat sekadar tahu harus dilewati sehingga seperangkat pengetahuan yang sudah dipahaminya mampu mengubah dirinya menjadi diri yang baru dan berbeda dengan diri sebelumnya. Ada kemungkinan apabila diri dapat berubah setelah mempelajari sesuatu yang baru, sang diri kemudian dapat mengumpulkan semangat dan gairah untuk mempelajari sebanyak mungkin hal-hal baru lagi.

Inilah kunci dari pentingnya melibatkan dan menggunakan kecerdasan emosi dalam sebuah pembelajaran. Emosi akan membawa dirinya menemukan warna-warni atau pelangi pembelajaran. Emosi akan mengajak seseorang untuk melihat kekayaan dan keanekaragaman sebuah peristiwa. Dan emosi akan mengajak inner-self (diri-lebih-dalam) seseorang untuk ikut terlibat dan mencari kaitan dengan apa pun yang sedang terjadi di luar dirinya. Apabila sebuah pembelajaran dapat melibatkan emosi, hasilnya insya Allah akan membaik daripada hanya menggunakan kecerdasan rasional.

Bukan hanya semangat dan gairah akan muncul jika emosi dilibatkan. Ada kemungkinan besar, para pembelajar akan mencoba menciptakan sesuatu yang baru yang berasal dari kedalaman dirinya. Karena emosi dapat menjangkau hal-hal yang paling dalam yang disimpan oleh seseorang di dalam dirinya, proses penciptaan tersebut bisa jadi akan sangat unik. Jadi, lewat emosi, yang dibantu atau bekerja sama secara komplementer dengan kecerdasan rasional, seorang pembelajar dapat menunjukkan (mengekspresikan) dirinya lewat karya-karya ciptaannya. Jika ia berhasil membuat karya cipta, berarti dirinya telah berubah. Kerena dewasa ini mendapatkan nilai 9 atau 10 belum bisa menjadi jaminan bahwa dirinya telah berhasil mengubah dirinya menjadi sosok yang baru dan lebih baik. Akan tetapi, alangkah baiknya memang jika ia mendapatkan nilai tinggi disertai juga dengan karya nyata.

Hal ini juga sejalan dengan definisi kecerdasan menurut penemu teori multiple intelligences, Howard Gardner. Menurutnya, kecerdasan di masa sekarang, perlu dirumuskan menjadi yaitu, untuk memecahkan masalah dan untuk menciptakan sebuah karya. Defenisi kecerdasan yang pertama merupakan paradigma-lama belajar. Ini berkaitan dengan tes atau ujian, sementara definisi kedua sangat terkait dengan paradigma-baru belajar. Seseorang dapat dikatakan dapat memanfaatkan pengetahuan yang telah dikuasainya apabila mampu menciptakan sebuah karya yang sesuai dengan mata pelajaran tersebut. (Hernowo, 2004: 32) Kita berharap dengan adanya perubahan paradigma lama pembelajaran ke paradigma baru pembelajaran mampu mempercepat penemuan kembali paradigma pendidikan yang lebih aktif- progresif, yang dengannya diharapkan dunia pendidikan dapat kembali mampu memjalankankan fungsinya sebagai saranan pemberdayaan dan pendewasaan umat dan bangsa. Amiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar