Upaya membangun pendidikan Islam berwawasan global yang memberdayakan dewasa ini bukan persoalan mudah, karena pada waktu bersamaan pendidikan Islam harus memiliki kewajiban untuk melestarikan, menanamkan nilai-nilai ajaran Islam sekaligus menanamkan karakter budaya nasional Indonesia dan budaya global. Upaya untuk membangun pendidikan Islam yang berwawasan global dapat dilaksanakan dengan langkah-langkah yang terencana dan strategis, apabila nilai-nilai tersebut dapat memasuki relung-relung pendidikan Islam sampai pada akar-akarnya kemungkinan pendidikan kita akan maju, pendidikan Islam yang berwawasan global dan memberdayakan yang dimaksud adalah pemikiran yang terus menerus harus dikembangkan melalui pendidikan untuk merebut kembali kepemimpinan iptek, sebagaimana zaman keeamasan dulu.
Pendidikan Islam harus mampu membangun keilmuan dan kemajuan kehidupan yang integrative antara nilai spiritual, moral dan materi bagi kehidupan manusia. Kehidupan Islam dipacu agar mampu membangun kompetisi dan mempersiapkan kehidupan yang lebih baik berupa manusia demokratis, kompetitif, inovatif berdasarkan nilai-nilai Islam. Pendidikan harus disusun atas dasar kondisi lingkungan masyarakat baik masa kini maupun kondisi pada masa yang akan datang.. Karena pendekatan masa lalu sering tidak tepat diterapkan pada kondisi berbeda, bahkan seringkali menimbulkan problem yang dapat memundurkan dunia pendidikan, khususnya pendidikan Islam dewasa ini. Pendidikan Islam harus mampu mengemban kemampuan untuk berpartisipasi didalam dunia kerja. Menghargai dan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki potensi untuk berkembang dan diupayakan sebagai proses berkesinambungan serta senantiasa berinteraksi dengan lingkungan, tanpa harus mengabaikan nilai-nilai keIslaman yang telah ditanamkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Dalam proses pembelajaran agama, pelaksanaan metode pembelajaran yang menoton harus dibanahi. Adalah John P. Miller, seorang ahli metode pembelajaran dari Ontario Institute for Studies in Education yang banyak melakukan kritik terhadap metode pembelajaran. Menurut Miller banyak peserta didik yang tidak tertarik belajar di kelas, bahkan mereka merasa tersiksa. Oleh karena itu, disusunlah model pembelajaran yang menarik bagi peserta didik dengan diberi nama Humanizing The Classroom: Models of Teaching in Affective Education. Selain itu, Melvin L. Silberman mengemukakan 101 strategi pembelajaran yang dapat mengaktifkan peserta didik. Menurut Silberman jika peserta didik hanya mendengarkan pelajaran, mereka akan lupa; jika mendengar dan melihat, mereka ingat sedikit; jika mereka mendengar, melihat dan melakukan diskusi, mereka akan faham; jika mereka mendengar, melihat, berdiskusi dan melakukan, mereka akan memperoleh pengetahuan dan keterampilan; dan jika mereka dapat mengajarkan kepada peserta didik lain, mereka akan menguasainya. Dengan penggunaan metode yang bervariasi ini, pendidikan Islam diharapkan lebih menekan pada upaya proses pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching), sehingga mutu pendidikan islam akan terangkat.
Tidak dapat dipungkiri, stereotyping yang berkembang di masyarakat kita, bahwa pendidikan Islam selalu diasosiasikan dengan lembaga pendidikan yang terbelakang. Terutama pendidikan tingginya, yang dianggap tidak menghasilkan lulusan (educational output) yang memadai, tidak memiliki kemampuan komprehensif-kompetitif terutama dalam bidang ilmu pengetahuan (science) dan tidak memiliki kompetensi profesional seperti yang dituntut dunia kerja (work force). Kondisi obyektif demikian ini menempatkan lembaga pendidikan Islam bukan sebagai kelas utama (the first class) melainkan sebagai kelas kedua (the second class). Selain itu memang, bila kita cermati, kuantitas dan kualitas kerja umat ini masih tertinggal dari Barat. Kelebihan umum orang Barat saat ini adalah mereka memiliki kualitas dan kuantitas kerja yang luar biasa. Semangat untuk mencari kekayaan dan kekuasaan mendobrak jiwa mereka untuk bergerak mencari taraf kehidupan yang lebih tinggi. Mereka kuasai iptek, media
Saat ini, sudah saatnya umat islam terbangun dari tidurnya, Islam adalah agama yang menghendaki keseimbangan. Seimbang antara ibadah dalam keduniawian dan keukhrawian. Seimbang antar ilmu agama dan ilmu dunia. Dengan demikian, output pendidikan Islam akan menghasilkan generasi Qur’ani yang cerdas otaknya dan lembut hatinya. Tidak pelak lagi, pencapaian sains dan teknologi yang amat tinggi pada masa lalu, adalah berkat diterapkannya Islam sebagai sebuah sistem pendidikan dan ideologi. Benar kiranya pernyatan salah seorang intelektual Muslim dari Mesir, Syekh Syaqib Arsalan, yang mengatakan bahwa orang-orang Barat maju karena meninggalkan agamanya dan kaum Muslim mundur karena meninggalkan agamanya. (Al-Amir Syakib Arsalan (trj), 1954: 9-13)
Dari gambaran problem dan kejayaan dunia pendidikan Islam di atas, terdapat beberapa hal yang dapat digunakan sebagai upaya untuk kembali membangkitkan dan menempatkan dunia pendidikan Islam pada peran yang semestinya sekaligus menata ulang paradigma pendidikan Islam sehingga kembali bersifat aktif-progresif dan memberdayaakan, yakni : Pertama, menempatkan kembali seluruh aktifitas pendidikan di bawah frame work agama. Artinya, seluruh aktifitas intelektual senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai agama (baca; Islam), di mana tujuan akhir dari seluruh aktifitas tersebut adalah upaya menegakkan agama dan mencari ridlo Allah. Kedua, adanya perimbangan (balancing) antara disiplin ilmu agama dan pengembangan intelektualitas dalam kurikulum pendidikan. Salah satu faktor utama dari marginalisasi dalam dunia pendidikan Islam adalah kecenderungan untuk lebih menitik beratkan pada kajian agama dan memberikan porsi yang berimbang pada pengembangan ilmu non-agama, bahkan menolak kajian-kajian non-agama. Oleh karena itu, penyeimbangan antara materi agama dan non-agama dalam dunia pendidikan Islam adalah sebuah keniscayaan jika ingin dunia pendidikan Islam kembali survive di tengah masyarakat. Ketiga, perlu diberikan kebebasan kepada civitas akademika untuk melakukan pengembangan keilmuan secara maksimal.. Karena, selama masa kemunduran Islam, tercipta banyak sekat dan wilayah terlarang bagi perdebatan dan perbedaan pendapat yang mengakibatkan sempitnya wilayah pengembangan intelektual. Keempat, mulai mencoba melaksanakan strategi pendidikan yang membumi. Artinya, strategi yang dilaksanakan disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan di mana proses pendidikan tersebut dilaksanakan. Dengan strategi ini diharapkan dapat menghasilkan sumber daya yang benar-benar mampu menghadapi tantangan zaman dan peka terhadap lingkungan. (M.Khoirul Anam, 2003)
Kumudian, faktor lain yang akan sangat membantu adalah adanya perhatian dan dukungan para pemimpin (pemerintah) atas proses pengembangan dunia pendidikan Islam. Adanya perhatian dan dukungan pemerintah akan mampu mempercepat penemuan kembali paradigma pendidikan Islam yang aktif-progresif, yang dengannya diharapkan dunia pendidikan Islam mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana pemberdayaan dan pendewasaan umat. Untuk itu, kerja sama antara pemerintah, akademisi, dan ulama perlu dilakukan lebih intens untuk mewujudkan sistem pendidikan islam yang lebih baik dan unggul. Semoga Islam kembali menjadi sebuah peradaban yang dikagumi dan disegani oleh dunia. Amiin. by: one
Tidak ada komentar:
Posting Komentar