Jumat, 29 Oktober 2010

Rabu, 02 Juni 2010

Senin, 31 Mei 2010

MENUJU PENDIDIKAN ISLAM YANG MEMBERDAYAKAN

Upaya membangun pendidikan Islam berwawasan global yang memberdayakan dewasa ini bukan persoalan mudah, karena pada waktu bersamaan pendidikan Islam harus memiliki kewajiban untuk melestarikan, menanamkan nilai-nilai ajaran Islam sekaligus menanamkan karakter budaya nasional Indonesia dan budaya global. Upaya untuk membangun pendidikan Islam yang berwawasan global dapat dilaksanakan dengan langkah-langkah yang terencana dan strategis, apabila nilai-nilai tersebut dapat memasuki relung-relung pendidikan Islam sampai pada akar-akarnya kemungkinan pendidikan kita akan maju, pendidikan Islam yang berwawasan global dan memberdayakan yang dimaksud adalah pemikiran yang terus menerus harus dikembangkan melalui pendidikan untuk merebut kembali kepemimpinan iptek, sebagaimana zaman keeamasan dulu.

Pendidikan Islam harus mampu membangun keilmuan dan kemajuan kehidupan yang integrative antara nilai spiritual, moral dan materi bagi kehidupan manusia. Kehidupan Islam dipacu agar mampu membangun kompetisi dan mempersiapkan kehidupan yang lebih baik berupa manusia demokratis, kompetitif, inovatif berdasarkan nilai-nilai Islam. Pendidikan harus disusun atas dasar kondisi lingkungan masyarakat baik masa kini maupun kondisi pada masa yang akan datang.. Karena pendekatan masa lalu sering tidak tepat diterapkan pada kondisi berbeda, bahkan seringkali menimbulkan problem yang dapat memundurkan dunia pendidikan, khususnya pendidikan Islam dewasa ini. Pendidikan Islam harus mampu mengemban kemampuan untuk berpartisipasi didalam dunia kerja. Menghargai dan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki potensi untuk berkembang dan diupayakan sebagai proses berkesinambungan serta senantiasa berinteraksi dengan lingkungan, tanpa harus mengabaikan nilai-nilai keIslaman yang telah ditanamkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Dalam proses pembelajaran agama, pelaksanaan metode pembelajaran yang menoton harus dibanahi. Adalah John P. Miller, seorang ahli metode pembelajaran dari Ontario Institute for Studies in Education yang banyak melakukan kritik terhadap metode pembelajaran. Menurut Miller banyak peserta didik yang tidak tertarik belajar di kelas, bahkan mereka merasa tersiksa. Oleh karena itu, disusunlah model pembelajaran yang menarik bagi peserta didik dengan diberi nama Humanizing The Classroom: Models of Teaching in Affective Education. Selain itu, Melvin L. Silberman mengemukakan 101 strategi pembelajaran yang dapat mengaktifkan peserta didik. Menurut Silberman jika peserta didik hanya mendengarkan pelajaran, mereka akan lupa; jika mendengar dan melihat, mereka ingat sedikit; jika mereka mendengar, melihat dan melakukan diskusi, mereka akan faham; jika mereka mendengar, melihat, berdiskusi dan melakukan, mereka akan memperoleh pengetahuan dan keterampilan; dan jika mereka dapat mengajarkan kepada peserta didik lain, mereka akan menguasainya. Dengan penggunaan metode yang bervariasi ini, pendidikan Islam diharapkan lebih menekan pada upaya proses pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching), sehingga mutu pendidikan islam akan terangkat.

Tidak dapat dipungkiri, stereotyping yang berkembang di masyarakat kita, bahwa pendidikan Islam selalu diasosiasikan dengan lembaga pendidikan yang terbelakang. Terutama pendidikan tingginya, yang dianggap tidak menghasilkan lulusan (educational output) yang memadai, tidak memiliki kemampuan komprehensif-kompetitif terutama dalam bidang ilmu pengetahuan (science) dan tidak memiliki kompetensi profesional seperti yang dituntut dunia kerja (work force). Kondisi obyektif demikian ini menempatkan lembaga pendidikan Islam bukan sebagai kelas utama (the first class) melainkan sebagai kelas kedua (the second class). Selain itu memang, bila kita cermati, kuantitas dan kualitas kerja umat ini masih tertinggal dari Barat. Kelebihan umum orang Barat saat ini adalah mereka memiliki kualitas dan kuantitas kerja yang luar biasa. Semangat untuk mencari kekayaan dan kekuasaan mendobrak jiwa mereka untuk bergerak mencari taraf kehidupan yang lebih tinggi. Mereka kuasai iptek, media massa, perdagangan, transportasi, dan pergaulan global. Sementara umat Islam saat ini  masih terlena dan terlelap dalam tidurnya.

Saat ini, sudah saatnya umat islam terbangun dari tidurnya, Islam adalah agama yang menghendaki keseimbangan. Seimbang antara ibadah dalam keduniawian dan keukhrawian. Seimbang antar ilmu agama dan ilmu dunia. Dengan demikian, output pendidikan Islam akan menghasilkan generasi Qur’ani yang cerdas otaknya dan lembut hatinya. Tidak pelak lagi, pencapaian sains dan teknologi yang amat tinggi pada masa lalu, adalah berkat diterapkannya Islam sebagai sebuah sistem pendidikan dan ideologi. Benar kiranya pernyatan salah seorang intelektual Muslim dari Mesir, Syekh Syaqib Arsalan, yang mengatakan bahwa orang-orang Barat maju karena meninggalkan agamanya dan kaum Muslim mundur karena meninggalkan agamanya. (Al-Amir Syakib Arsalan (trj), 1954: 9-13)

Dari gambaran problem dan  kejayaan dunia pendidikan Islam di atas, terdapat beberapa hal yang dapat digunakan sebagai upaya untuk kembali membangkitkan dan menempatkan dunia pendidikan Islam pada peran yang semestinya sekaligus menata ulang paradigma pendidikan Islam sehingga kembali bersifat aktif-progresif dan memberdayaakan, yakni : Pertama, menempatkan kembali seluruh aktifitas pendidikan di bawah frame work agama. Artinya, seluruh aktifitas intelektual senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai agama (baca; Islam), di mana tujuan akhir dari seluruh aktifitas tersebut adalah upaya menegakkan agama dan mencari ridlo Allah. Kedua, adanya perimbangan (balancing) antara disiplin ilmu agama dan pengembangan intelektualitas dalam kurikulum pendidikan. Salah satu faktor utama dari marginalisasi dalam dunia pendidikan Islam adalah kecenderungan untuk lebih menitik beratkan pada kajian agama dan memberikan porsi yang berimbang pada pengembangan ilmu non-agama, bahkan menolak kajian-kajian non-agama. Oleh karena itu, penyeimbangan antara materi agama dan non-agama dalam dunia pendidikan Islam adalah sebuah keniscayaan jika ingin dunia pendidikan Islam kembali survive di tengah masyarakat. Ketiga, perlu diberikan kebebasan kepada civitas akademika untuk melakukan pengembangan keilmuan secara maksimal.. Karena, selama masa kemunduran Islam, tercipta banyak sekat dan wilayah terlarang bagi perdebatan dan perbedaan pendapat yang mengakibatkan sempitnya wilayah pengembangan intelektual. Keempat, mulai mencoba melaksanakan strategi pendidikan yang membumi. Artinya, strategi yang dilaksanakan disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan di mana proses pendidikan tersebut dilaksanakan. Dengan strategi ini diharapkan dapat menghasilkan sumber daya yang benar-benar mampu menghadapi tantangan zaman dan peka terhadap lingkungan. (M.Khoirul Anam, 2003)

Kumudian, faktor lain yang akan sangat membantu adalah adanya perhatian dan dukungan para pemimpin (pemerintah) atas proses pengembangan dunia pendidikan Islam. Adanya perhatian dan dukungan pemerintah akan mampu mempercepat penemuan kembali paradigma pendidikan Islam yang aktif-progresif, yang dengannya diharapkan dunia pendidikan Islam mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana pemberdayaan dan pendewasaan umat. Untuk itu, kerja sama antara pemerintah, akademisi, dan ulama perlu dilakukan lebih intens untuk mewujudkan sistem pendidikan islam yang lebih baik dan unggul. Semoga Islam kembali menjadi sebuah peradaban yang dikagumi dan disegani oleh dunia. Amiin. by: one

PENGAJARAN BUKA HANYA "SEKEDAR TAHU"

Pendidikan bukanlah ibarat mengisi sebuah ember atau mengisi botol yang kosong. Pendidikan adalah menyalakan sekelebat api” (Hernowo)

 

Ketika para ahli terus berusaha mengotak-atik wujud konkret dari kurikulum berbasis emosi, akhirnya  menemukan formulasi baru tentang pentingnya mengubah paradigma pembelajaran selama ini. Gagasan memunculkan paradigma-baru dalam pembelajaran ini sebenarnya sudah cukup lama, beberapa kalangan ahli juga sudah berupaya memunculkan ide perlunya merekonsturuksi dan men-design pembelajaran yang lebih efektif salah satu contoh adalah pentingnya seorang pembaca buku memiliki paradigma-baru membaca pada zaman yang serbacepat berubah ini.

Paradigma-baru membaca telah digagas oleh Hernowo yang ia peroleh dari pemikiran Sindhunata--yang dipijakkan pada gagasan Bloom dan Conrard--yang tertuang dalam sebuah pengantar yang ditulisnya untuk bukunya “Main-Main dengan Teks Sembari Mengasah Kecerdasan Emosi”. Sindhunata menunjukkan bahwa saat ini tak cukup jika seorang pembaca buku memiliki paradigma, "Apa yang dapat diberikan oleh teks?" Paradigma-lama membaca itu harus diganti dengan paradigma-baru yang berbunyi, "Teks yang mana yang dapat mengubah diriku?

Untuk sampai ke paradigma-baru belajar, seorang pembelajar perlu menggunakan kecerdasan emosinya. Menggunakan kecerdasan emosi berarti mencoba melibatkan atau mengaitkan dirinya dengan mata pelajaran yang sedang dipelajarinya. Sekali lagi, menurut para pakar otak, emosi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk memberi arti. Lewat emosilah seseorang kemudian mencoba mengaitkan apa yang ada di dalam dirinya dengan apa yang sedang terjadi di luar dirinya. Emosi dapat membawa masuk pengalaman eksternal (atau hal-hal yang sedang terjadi di luar diri) untuk digabungkan dengan pengalaman internal (atau hal-hal yang sudah dimiliki seseorang).

Apabila sebuah mata pelajaran yang sudah dikuasai oleh seseorang ternyata tidak nyantol  atau terkait dengan pengalaman internal yang telah terbangun di kedalaman dirinya, ada kemungkinan mata pelajaran itu tidak memberikannya makna. Artinya, proses belajar dengan berpijak pada paradigma-baru yang berbunyi, "Apakah mata pelajaran yang sedang kupelajari ini dapat mengubah diriku?", ada kemungkinan tidak terbangun di dalam dirinya. Hal itu dikarenakan mata pelajaran tersebut tidak bisa dikaitkan, lewat emosinya, dengan pengalaman yang sudah tertanam di dalam dirinya.

Mengapa ketidakterkaitan itu bisa terjadi? Ada banyak penyebab. Hernowo menyebutkan ada beberapa hal yang menjadi penyebabnya. Pertama, proses pembelajaran tersebut tidak dalam kondisi yang menyenangkan. Artinya, ketika si pembelajar mendapatkan mata pelajaran tersebut, dia berada dalam keadaan yang diliputi oleh emosi negatif (risau, tertekan, bingung, kekalutan, ancaman, dan semacamnya). Emosi negatif kadang bersifat menolak atau membawa seseorang untuk tidak dapat berkonsentrasi atau fokus. Kedua, lingkungan eksternal yang melingkupinya, termasuk di dalamnya jika ada guru yang membantu siswa memahami materi pelajaran yang dipelajarinya benar-benar tidak menyamankan. (dengan kondisi udara panas, perut lapar, presentasi hanya satu arah, monoton, kering, kelelahan fisik dan psikis melanda, dan semacamnya). Maka mustahil pelajaran tersebut akan di terima dengan baik oleh siswa. Ketiga, di dalam diri si pengajar (guru) memang tidak ada pengalaman yang memadai terkait dengan mata pelajaran yang sedang dipelajarinya. Yang mungkin perlu diperhatikan di hal ketiga ini adalah ada kemungkinan dia punya pengalaman tentang mata pelajaran yang sedang dipelajarinya, namun pengalaman itu membuatnya mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan. Hal ketiga ini jelas perlu dievaluasi secara cermat oleh semua pihak yang terlibat dalam proses pembelajaran. Yang lebih parah jika para pengajarnya pun tidak berusaha mengaitkan lebih dahulu kehidupan yang dijalani sehari-hari dengan mata pelajaran yang ingin diajarkannya. Atau dalam bahasa lain, sang pengajar tanpa sengaja memisahkan mata pelajaran yang ingin diajarkan itu terpisah dengan dunia-nyata dirinya.

Paradigma belajar ini memberikan penegasan kepada siapa saja untuk tidak lagi menganggap bahwa memahami hal-hal baru itu atau ilmu sudah cukup. Belajar pada zaman sekarang sudah tidak lagi bermanfaat apabila hanya "sekadar tahu". Tingkat sekadar tahu harus dilewati sehingga seperangkat pengetahuan yang sudah dipahaminya mampu mengubah dirinya menjadi diri yang baru dan berbeda dengan diri sebelumnya. Ada kemungkinan apabila diri dapat berubah setelah mempelajari sesuatu yang baru, sang diri kemudian dapat mengumpulkan semangat dan gairah untuk mempelajari sebanyak mungkin hal-hal baru lagi.

Inilah kunci dari pentingnya melibatkan dan menggunakan kecerdasan emosi dalam sebuah pembelajaran. Emosi akan membawa dirinya menemukan warna-warni atau pelangi pembelajaran. Emosi akan mengajak seseorang untuk melihat kekayaan dan keanekaragaman sebuah peristiwa. Dan emosi akan mengajak inner-self (diri-lebih-dalam) seseorang untuk ikut terlibat dan mencari kaitan dengan apa pun yang sedang terjadi di luar dirinya. Apabila sebuah pembelajaran dapat melibatkan emosi, hasilnya insya Allah akan membaik daripada hanya menggunakan kecerdasan rasional.

Bukan hanya semangat dan gairah akan muncul jika emosi dilibatkan. Ada kemungkinan besar, para pembelajar akan mencoba menciptakan sesuatu yang baru yang berasal dari kedalaman dirinya. Karena emosi dapat menjangkau hal-hal yang paling dalam yang disimpan oleh seseorang di dalam dirinya, proses penciptaan tersebut bisa jadi akan sangat unik. Jadi, lewat emosi, yang dibantu atau bekerja sama secara komplementer dengan kecerdasan rasional, seorang pembelajar dapat menunjukkan (mengekspresikan) dirinya lewat karya-karya ciptaannya. Jika ia berhasil membuat karya cipta, berarti dirinya telah berubah. Kerena dewasa ini mendapatkan nilai 9 atau 10 belum bisa menjadi jaminan bahwa dirinya telah berhasil mengubah dirinya menjadi sosok yang baru dan lebih baik. Akan tetapi, alangkah baiknya memang jika ia mendapatkan nilai tinggi disertai juga dengan karya nyata.

Hal ini juga sejalan dengan definisi kecerdasan menurut penemu teori multiple intelligences, Howard Gardner. Menurutnya, kecerdasan di masa sekarang, perlu dirumuskan menjadi yaitu, untuk memecahkan masalah dan untuk menciptakan sebuah karya. Defenisi kecerdasan yang pertama merupakan paradigma-lama belajar. Ini berkaitan dengan tes atau ujian, sementara definisi kedua sangat terkait dengan paradigma-baru belajar. Seseorang dapat dikatakan dapat memanfaatkan pengetahuan yang telah dikuasainya apabila mampu menciptakan sebuah karya yang sesuai dengan mata pelajaran tersebut. (Hernowo, 2004: 32) Kita berharap dengan adanya perubahan paradigma lama pembelajaran ke paradigma baru pembelajaran mampu mempercepat penemuan kembali paradigma pendidikan yang lebih aktif- progresif, yang dengannya diharapkan dunia pendidikan dapat kembali mampu memjalankankan fungsinya sebagai saranan pemberdayaan dan pendewasaan umat dan bangsa. Amiin.